Edukasiku.net – Jabat tangan adalah salah satu simbol etika yang dikenal di seluruh dunia untuk bersalaman. Tradisi salam dengan jabat tangan sudah digunakan sejak ribuan tahun lalu oleh berbagai peradaban.
Jabat tangan bukan hanya sekedar salam, tetapi juga sarana menunjukkan niat baik dan kepercayaan. Berikut asal usul salam dengan jabat tangan, simak di bawah ini!
Sejarah Awal Tradisi Jabat Tangan
Tradisi jabat tangan sudah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Pada abad ke-5 SM, jabat tangan digunakan untuk membuktikan bahwa tangan seseorang kosong dari senjata. Ini menjadi tanda bahwa kedua pihak tidak memiliki niat buruk.
Beberapa peninggalan sejarah, seperti patung dan lukisan, menggambarkan jabat tangan dalam berbagai momen penting. Jabat tangan juga dilakukan dalam perjanjian antar kerajaan atau dalam penyambutan tamu terhormat.
Di Kekaisaran Romawi, jabat tangan digunakan untuk mempererat kesepakatan. Tradisi ini dikenal dengan istilah “dexiosis” yang berarti berjabat tangan sebagai tanda persatuan dan kepercayaan.
Pada awal peradaban, jabat tangan digunakan sebagai tanda perdamaian. Jabat tangan memperlihatkan bahwa seseorang tidak membawa senjata. Hal ini menjadi simbol bahwa pertemuan dilakukan dalam suasana aman.
Jabat tangan berkembang menjadi bagian dari standar etika dalam kehidupan sosial. Sampai saat ini, tradisi jabat tangan masih digunakan di berbagai belahan dunia.
Mengapa Jabat Tangan Menjadi Standar Etika?
Jabat tangan menjadi standar etika karena makna simbolisnya yang kuat. Jabat tangan melambangkan kejujuran, rasa hormat, dan kesetaraan. Saat jabat tangan dilakukan, posisi tangan sejajar. Hal ini menunjukkan bahwa kedua pihak berada pada posisi yang sama dan saling menghargai.
Selain itu, jabat tangan menciptakan kesan positif saat pertemuan pertama. Dalam dunia bisnis dan diplomasi, jabat tangan menjadi pembuka komunikasi yang baik. Banyak kesepakatan penting di dunia dimulai dengan jabat tangan.
Jabat tangan menjadi standar etika karena memberikan rasa percaya diri. Jabat tangan yang kuat dan tepat mencerminkan karakter seseorang yang terbuka dan jujur.
Jabat Tangan di Berbagai Budaya
Jabat tangan memiliki variasi dalam pelaksanaannya di berbagai budaya. Di negara-negara Barat, jabat tangan dilakukan dengan genggaman kuat dan tatapan mata langsung. Ini menunjukkan rasa percaya diri dan keterbukaan.
Di Timur Tengah, jabat tangan dilakukan lebih lembut. Bahkan dalam beberapa budaya, jabat tangan hanya dilakukan sesama jenis kelamin. Hal ini menyesuaikan dengan norma sosial dan agama setempat.
Di Jepang, salam lebih sering dilakukan dengan membungkuk. Namun, jabat tangan tetap digunakan dalam situasi internasional. Ini menunjukkan bahwa jabat tangan diakui sebagai standar etika global.
Di Indonesia sendiri, jabat tangan menjadi bagian penting dalam perkenalan, silaturahmi, dan pertemuan resmi. Jabat tangan dianggap sebagai simbol keramahtamahan dan rasa hormat kepada orang lain.
Fungsi Sosial dari Salam dengan Jabat Tangan
Jabat tangan bukan hanya sekedar simbol etika. Jabat tangan juga memiliki fungsi sosial yang besar. Dengan jabat tangan, hubungan sosial dapat terjalin lebih erat.
Jabat tangan menciptakan rasa akrab dan dekat antar individu. Bahkan dalam dunia kerja, jabat tangan sering digunakan untuk membangun koneksi profesional.
Dalam konteks sosial, jabat tangan memperlihatkan bahwa seseorang terbuka untuk menjalin komunikasi. Jabat tangan juga menjadi simbol penyelesaian konflik atau perjanjian damai.
Jabat tangan menjadi kebiasaan yang mempererat interaksi manusia. Di masa modern, meskipun beberapa budaya mengurangi jabat tangan karena pandemi, makna simbolisnya tetap kuat.
Demikian penjelasan tentang sejarah salam dengan jabat tangan dan mengapa hal ini menjadi standar etika. Tradisi salam dengan jabat tangan telah melewati perjalanan panjang dalam sejarah manusia, bukan sekedar kebiasaan tetapi simbol perdamaian, kepercayaan, dan rasa hormat antar individu.
Salam dengan jabat tangan akan terus menjadi bagian dari interaksi sosial di berbagai belahan dunia. Meski zaman berubah, makna jabat tangan sebagai standar etika tetap tidak tergantikan.
Penulis: Brilliani Putri Pijar
Editor: Ghina Shelda Aprelka
Leave a comment